Friday, February 14, 2020

My First Job Till Now

Sang rembulan bersinar terang menemani perjalananku untuk pulang bersama kawan-kawan. Diselimuti angin yang dingin, kami melangkah sambil tertawa terbahak-bahak dengan obrolan yang tidak jelas. Saat itu sekitar pukul 00.30 WIB, kami baru saja pulang dari warnet (warung internet) untuk melihat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Kami tertawa bukan karena kami semua diterima di perguruan tinggi tetapi sebaliknya tidak ada satu pun dari kami yang lolos. Aneh memang jika diingat, kala itu tidak ada rasa sedih sama sekali. Jangankan untuk menangis bahkan termenung pun tidak. Tiba di rumah, aku bertemu dengan ayahku yang ternyata menungguku pulang. Saat ditanya olehnya-lah secara spontan air mata seketika mengalir deras, bersama isak tangis yang entah mengapa bisa keluar begitu saja. Tanpa sadar aku memeluk ayahku  dan ia membalas pelukanku sambil mengatakan, 
"Gak apa-apa, mau swasta aja atau coba lagi tahun depan?"

aku hanya menangis tak menjawab.

"Ya sudah, istirahat sana. Besok kita obrolin lagi."

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mencoba lagi ujian masuk tahun depan dengan konsekuensi persiapan yang lebih baik dari sebelumnya.

Pertengahan tahun 2008, kala itulah semua hal tersebut terjadi dan sejak itu pula terjadi perubahan yang cukup signifikan pada aktifitas keseharianku. Aku mulai lebih banyak membuka buku, banyak latihan mengerjakan soal-soal ujian, tetapi masih sedikit diselingi olahraga biliard dan basket, maklum kawan-kawanku sudah mulai kuliah di perguruan tinggi swasta sehingga meminimalisir waktu main bersama. Selain itu, aku pun mencoba untuk latihan berbahasa inggris di balai bahasa UPI.

Saat aku sedang menyibukan diri dengan buku matematika dan satu mug susu putih, ayahku memanggilku.

"Jek, mau ngajar matematika gak?"
"Ngajarin siapa pak?"
"Itu ada temen bapak, anaknya kelas 4 perlu guru matematika. Bapak nawarin buat diajarin kamu, kamu suka matematik kan? dulu juga suka ngajarin temen-temen kamu kan."

Memang waktu SMA aku sempat beberapa kali diundang teman sejawat untuk mengajarkan materi matematika.

"Iya sih, tapi kan belum pernah ngajar bener?"
"Coba aja dulu, kalau ga cocok ya paling udahan" jawab ayahku santai.

Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mengajar di bulan Oktober tahun 2008, aku masih ingat kala itu aku dihargai IDR 50.000/jam. Aku tidak menentukan harga tapi teman bapaku yang menentukan. Kala itu sangat malu bagiku menetapkan harga, maklum hanya lulusan SMA yang gagal masuk universitas dan tak punya pengalaman mengajar. Tapi siapa sangka, anaknya merasa cocok belajar denganku, "Keren" katanya, hahaha. Karena hal baru katanya mendapatkan guru matematika muda, gondrong, menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Ya karena aku mengajar memang tidak terlalu peduli dengan penampilan, yang penting aku harus paham materi anak dan mereka paham dengan apa yang aku sampaikan. Sampai kata orang tuanya dia sempat bercerita ingin sepertiku, tetapi aku katakan jangan, nanti gagal masuk perguruan tinggi.

Siapa yang sangka, sejak saat itulah aku malah mendapatkan banyak siswa dari mouth to mouth. Ghibahnya ibu-ibu ternyata berefek positif. Sejak awal tahun 2009, aku sudah memiliki siswa dari tingkat SD, SMP bahkan SMA. Kemudian, pada tahun itu jugalah saya dipercaya oleh Allah untuk menuntut ilmu di prodi Kimia UPI. Saya tidak mengambil prodi pendidikan karena memang saya tidak bercita-cita menjadi guru, apalagi setelah traumatik dengan salah satu guru saat SMA dan saya banyak menghardik guru tersebut.

Menjalani hidup menjadi mahasiswa memang tidak mudah, banyak tugas dan ujian. Ujian hidup karena wanita pun tak bisa dibendung. Selama menjadi mahasiswa, aku tak berhenti memberikan les privat matematika. Lumayan, uang bensin dan jajan jadi bertambah.

Tahun 2011, aku mendapatkan tawaran mengajar di Bimbel Villa Merah Bandung untuk mengajar kimia. Aku mendapatkan tawaran mengajar hanya karena kebetulan aku pernah menimba ilmu di sana, jadi tanpa melamar tetapi melalui jalur alumni haha. Setelah beberapa bulan di sana aku dipercaya juga untuk mengajar matematika dan TPA (Tes Potensi Akademik). Sayangnya, aku hanya berjodoh tiga tahun di sana. Pada tahun 2014, beberapa bulan setelah aku wisuda, aku memfokuskan diri untuk bekerja di laboratorium membantu projek Prof. Asep Kadarohman, M.Si., yang sekarang sudah menjabat sebagai rektor UPI.

Setahun membantu riset bapak rektor tercinta dan mendapatkan kendala untuk melakukan produksi, maklum selama ini kegiatan produksi riset menggunakan sekala riset sedangkan permintaan sudah mulai skala industri. Di sela mendapatkan kendala tersebut, alhamdulillah, aku mendapatkan tawaran untuk mengajar di Bimbel Focus Excellent sebagai pengajar kimia. Tidak jauh berbeda saat aku di Villa Merah, alhamdulillah, aku diberikan kepercayaan juga untuk mengajar matematika dan TPA. Selain itu, aku sempat dipercaya menjadi manager akademik dan kepala cabang. Beberapa bulan kemudian aku diajak untuk membantu salah satu usaha rekan pengajar sebagai analis kimia.

Setelah tiga tahun, aku dan lembaga memiliki beda pemahaman dalam melanjutkan kerja sama. Akhirnya pada tahun 2018, setelah masa baktiku habis, aku memutuskan untuk pindah ke sebuah sekolah swasta. Sekolah level SMA ini baru membuka angkatan pertamanya. Tetapi setelah melalui tahap wawancara, berdiskusi dengan salah satu staff, dan observasi kelas, aku yakin ada hal yang mungkin belum pernah aku dapatkan di tempat-tempat sebelumnya.


Sekarang disinilah aku, di sebuah sekolah swasta yang penuh dengan cita-cita dan impian. Mengajar matematika dan kimia, menjadi wali kelas, aktivitas projek, mendapatkan pelajaran sirah nabi, tausiah rutin, mengintegrasi pelajaran dengan agama, mempersiapkan siswa untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), dan lainnya.

Kadang aku berpikir bahwa takdirku ini lucu, tak pernah aku bercita-cita menjadi seorang guru, dulu imianku adalah menjadi seorang dokter kandungan, atau menjadi ahli tambang minyak. Bahkan aku menghardik profesi guru saat masih bersekolah. Tapi sekarang aku menjadi seorang guru sekolah, aneh sekali, pendapatan materil yang selama ini aku peroleh, Allah berikan melalui jalur mengajar.

Meskipun begitu, dibalik semuanya, aku tak pernah menganggap menjadi guru adalah profesiku (sampai sekarang masih mencoba untuk mencari karir jalur lain, haha). Aku tidak begitu menikmati ketika mengajar mereka, aku lebih menikmati bagaimana berdiskusi dengan siswa dan orang tua siswa, memotivasi mereka untuk masuk perguruan tinggi, mencoba memberikan masukan, dan lainnya. Yah, mengajar hanyalah kewajiban yang mungkin harus aku lalui.


Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu, begitu banyak misteri illahi. Mungkin apa yang tidak kita sukai adalah hal yang baik menurut Allah, ataupun sebaliknya, apa yang kita sukai bukan hal baik menurut Allah.

Mari kita nikmati apa yang Allah takdirkan. :)