Sunday, May 17, 2020

KEBEBASAN

Sayapku mengepak begitu keras
Mengantarkanku ke titik-titik jauh
Bebas melayang melanjutkan kehidupan
Tapi itu dulu

Cakarku menandai tiap dahan yang berbeda
Begitu banyak pohon yang aku singgahi
Bebas bertengger berjumpa kawan
Tapi itu dulu

Lingkungan memang sedang membahayakan
Banyak korban berjatuhan
Diam dalam sangkar agar aman
Begitu kata mereka

Sayapku kini terikat tali tak terlihat
Cakarku terpasung keputusan
Mungkin memang karena keadaan
Tapi bagaimana aku bisa mencari makan?

Anakku merengek karena lapar
Istriku mengusap dalam lemahnya
Aku tak bisa hanya diam
Aku tetap harus berjuang

Meskipun tak banyak pohon dapat aku jumpai
Tak lagi banyak dahan aku singgahi
Meskipun hanya seekor ulat
Akan tetap aku cari

Mungkin Tuhan hendak menegur
Karena kerap kali aku lupa
Bersyukur atas kebebasan yang telah diberi
Bersyukur atas rezeki yang selalu dinikmati

Tuesday, March 31, 2020

Pembelajaran Jarak Jauh-1

GOL TENDANGAN BEBAS JARAK JAUH TERHEBAT DI DUNIA, DAHSYAT ...
Covid-19 menjadi momok yang sangat menakutkan di awal tahun 2020 ini, ia menerkam bumi sampai ke pelosok-pelosok negara. Virus luar biasa yang berhasil membungkam aktivitas beberapa negara di dunia. China menjadi pionir dalam penyebaran virus ini, kurang lebih pada bulan desember tahun lalu baru disadari oleh pemerintah China bahwa mereka telah di teror oleh penyakit corona.

Untuk saat ini saya tidak akan membahas virus itu apa, virus Covid-19 itu bentuknya seperti apa, bagaimana penularannya atau juga bagaimana pencegahannya tetapi yang akan saya bagi di sini adalah dampak dari virus ini khususnya kepada profesi saya sebagai pengajar SMA.

Penyebaran virus Covid-19 itu seperti semut yang tiba-tiba ada di makanan manis, kita tidak waspada tahu-tahu makanan sudah dikeroyok oleh semut. Dampak dari penyebaran ini mengakibatkan pemerintah harus mengambil sikap WFH (Work From Home) atau bekerja di rumah. Mungkin untuk beberapa pekerja dapat melakukan WFH dengan mudah selama terpenuhi kuota dan sinyal internet, sayangnya beberapa pekerja lainnya tidak bisa sekedar kuota dan sinyal. Saya sempat berdiskusi kecil dengan pemilik warung, penjual nasi goreng, penjual kopi, dan pedagang-pedagang lainnya. Mereka mengalami penurunan omset yang amat drastis, yang biasa terjual 10-15 gelas kopi satu hari saat ini sudah mencapai 3-5 gelas pun sudah sangat bersyukur. Jalanan lengang, bahkan ojol pun terlihat lesu.

Dampak terhadap pedagang-pedagang ini juga dirasakan oleh saya. Hal pertama yang teramat terasa adalah profesi inti saya sebagai pengajar SMA untuk mengajar jarak jauh. Tidak seperti tendangan jarak jauh pada sepak bola yang hanya berkisar 60 meter tetapi bisa sampai berkilo-kilometer. Ya, untuk mengatasi pembelajaran jarak jauh adalah dengan teknik mengajar daring (dalam jaringan) menggunakan google meets. Yah, sebenarnya tidak ada kesulitan yang istimewa jika pembelajaran hanya menampilkan powerpoint lalu menjelaskan kepada siswa, atau berikan saja tugas penguatan kepada siswa. 

Oia, sebelumnya memang pemerintah menganjurkan pembelajaran cukup dikaitkan dengan kondisi terkini (mengenai virus Covid-19) sayangnya pelajaran yang saya ampu adalah matematika dan kimia, kimia masih memungkinkan untuk memberikan sentuhan dalam pembahasan virus Covid-19 tapi tidak untuk matematika. Lagipula, mereka belajar saat ini bukan untuk dua bulan di depan, UKK atau ujian lainnya, mereka harus siap materi untuk seleksi masuk perguruan tinggi tahun depan (SMA saya masih baru jadi belum ada siswa kelas XII) atau minimal untuk menghadapi materi lanjutan di tingkat selanjutnya. Jadi sangat tidak memungkinkan saya meminimalisir pembelajaran dengan mengorbankan persiapan mereka untuk tahun depan.

Jadi ada hal-hal yang perlu saya sampaikan secara langsung (tulisan langsung) apalagi kimia dan matematika banyak simbol, huruf, angka, dan aturan penulisan lainnya. Jika memiliki perangkat yang mendukung akan lebih menyenangkan, pen tablet misalnya. Karena, jika menulis langsung di gawai menggunakan jari atau tetikus akan memberikan efek berantakan pada tulisan (terlebih saya bukan pengguna tetikus yang baik) dan kabar buruknya saya tidak memiliki perangkat-perangkat tersebut.

Kenapa tidak menggunakan video pembelajaran? Sederhananya sih begini, umumnya kalau kita tidak mengerti suatu bahasan enaknya langsung bertanya tidak terbatas dan tertunda harus mengetik dulu atau membuat pesan suara atau melalui telepon kan? 

Oleh karena itu, saya hanya memiliki pilihan membuat pembelajaran daring dengan memanfaatkan papan tulis atau kertas. Sayangnya kedua material tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan, meskipun begitu sampai saat ini saya mengoptimalkan keduanya. Selain itu penggunaan aplikasi konferensi sangat menyita kuota internet, guru tahfidz sudah mulai mengeluh 2.5 Gb habis untuk pembelajaran. Untungnya, sejak awal saya sudah sadar akan hal itu, sehingga sebelum turun titah WFH dari yayasan sekolah saya sudah meminta izin kepada kepala sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah (salah satunya wifi) dan sekarang guru tahfidz tersebut ikut-ikutan melakukan pembelajaran daring di sekolah (tenang, kita berbeda ruangan jadi tetap social distance, dan dia hanya ada pembelajaran dari jam 08.00 s.d. 09.00 setelah itu sudah kembali ke rumahnya).

Gambar 1. Pembelajaran daring menggunakan media google meets + papan tulis


Gambar 2. Pembelajarang daring menggunakan media google meets + kertas HVS

Selain itu, kami (pengajar) pun harus membuat laporan setelah melakukan pembelajara secara online, serius ini bikin repot sekali, karena kami harus mendokumentasikan pembelajaran lalu diunggah bersama tugas yang diberikan kepada siswa.

Mungkin dapat menjadi masukan bagi pengajar-pengajar lain di luar sana bahwa siswa tidak bisa hanya sekedar diberikan tugas (yakinlah itu hanya merepotkan kalian atau menyusahkan rekan kalian untuk mengajar mereka di tahun depan), jika terbatas kuota coba cari lokasi yang memungkinkan memanfaatkan wifi, gunakanlah fasilitas-fasilitas yang ada untuk menunjang pembelajaran, dan pastikan bukan hanya sekedar materi tersampaikan sekali lagi hal ini akan berdampak pada kesiapan mereka menghadapi materi selanjutnya apalagi jika materi prasyarat.

Yah itu sedikit cerita sebagai pengajar di sekolah resmi, next saya akan bercerita dampak WFH terhadap profesi saya yang lain seperti pengajar bimbel :).

Bersambung...




Friday, February 14, 2020

My First Job Till Now

Sang rembulan bersinar terang menemani perjalananku untuk pulang bersama kawan-kawan. Diselimuti angin yang dingin, kami melangkah sambil tertawa terbahak-bahak dengan obrolan yang tidak jelas. Saat itu sekitar pukul 00.30 WIB, kami baru saja pulang dari warnet (warung internet) untuk melihat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Kami tertawa bukan karena kami semua diterima di perguruan tinggi tetapi sebaliknya tidak ada satu pun dari kami yang lolos. Aneh memang jika diingat, kala itu tidak ada rasa sedih sama sekali. Jangankan untuk menangis bahkan termenung pun tidak. Tiba di rumah, aku bertemu dengan ayahku yang ternyata menungguku pulang. Saat ditanya olehnya-lah secara spontan air mata seketika mengalir deras, bersama isak tangis yang entah mengapa bisa keluar begitu saja. Tanpa sadar aku memeluk ayahku  dan ia membalas pelukanku sambil mengatakan, 
"Gak apa-apa, mau swasta aja atau coba lagi tahun depan?"

aku hanya menangis tak menjawab.

"Ya sudah, istirahat sana. Besok kita obrolin lagi."

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mencoba lagi ujian masuk tahun depan dengan konsekuensi persiapan yang lebih baik dari sebelumnya.

Pertengahan tahun 2008, kala itulah semua hal tersebut terjadi dan sejak itu pula terjadi perubahan yang cukup signifikan pada aktifitas keseharianku. Aku mulai lebih banyak membuka buku, banyak latihan mengerjakan soal-soal ujian, tetapi masih sedikit diselingi olahraga biliard dan basket, maklum kawan-kawanku sudah mulai kuliah di perguruan tinggi swasta sehingga meminimalisir waktu main bersama. Selain itu, aku pun mencoba untuk latihan berbahasa inggris di balai bahasa UPI.

Saat aku sedang menyibukan diri dengan buku matematika dan satu mug susu putih, ayahku memanggilku.

"Jek, mau ngajar matematika gak?"
"Ngajarin siapa pak?"
"Itu ada temen bapak, anaknya kelas 4 perlu guru matematika. Bapak nawarin buat diajarin kamu, kamu suka matematik kan? dulu juga suka ngajarin temen-temen kamu kan."

Memang waktu SMA aku sempat beberapa kali diundang teman sejawat untuk mengajarkan materi matematika.

"Iya sih, tapi kan belum pernah ngajar bener?"
"Coba aja dulu, kalau ga cocok ya paling udahan" jawab ayahku santai.

Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mengajar di bulan Oktober tahun 2008, aku masih ingat kala itu aku dihargai IDR 50.000/jam. Aku tidak menentukan harga tapi teman bapaku yang menentukan. Kala itu sangat malu bagiku menetapkan harga, maklum hanya lulusan SMA yang gagal masuk universitas dan tak punya pengalaman mengajar. Tapi siapa sangka, anaknya merasa cocok belajar denganku, "Keren" katanya, hahaha. Karena hal baru katanya mendapatkan guru matematika muda, gondrong, menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Ya karena aku mengajar memang tidak terlalu peduli dengan penampilan, yang penting aku harus paham materi anak dan mereka paham dengan apa yang aku sampaikan. Sampai kata orang tuanya dia sempat bercerita ingin sepertiku, tetapi aku katakan jangan, nanti gagal masuk perguruan tinggi.

Siapa yang sangka, sejak saat itulah aku malah mendapatkan banyak siswa dari mouth to mouth. Ghibahnya ibu-ibu ternyata berefek positif. Sejak awal tahun 2009, aku sudah memiliki siswa dari tingkat SD, SMP bahkan SMA. Kemudian, pada tahun itu jugalah saya dipercaya oleh Allah untuk menuntut ilmu di prodi Kimia UPI. Saya tidak mengambil prodi pendidikan karena memang saya tidak bercita-cita menjadi guru, apalagi setelah traumatik dengan salah satu guru saat SMA dan saya banyak menghardik guru tersebut.

Menjalani hidup menjadi mahasiswa memang tidak mudah, banyak tugas dan ujian. Ujian hidup karena wanita pun tak bisa dibendung. Selama menjadi mahasiswa, aku tak berhenti memberikan les privat matematika. Lumayan, uang bensin dan jajan jadi bertambah.

Tahun 2011, aku mendapatkan tawaran mengajar di Bimbel Villa Merah Bandung untuk mengajar kimia. Aku mendapatkan tawaran mengajar hanya karena kebetulan aku pernah menimba ilmu di sana, jadi tanpa melamar tetapi melalui jalur alumni haha. Setelah beberapa bulan di sana aku dipercaya juga untuk mengajar matematika dan TPA (Tes Potensi Akademik). Sayangnya, aku hanya berjodoh tiga tahun di sana. Pada tahun 2014, beberapa bulan setelah aku wisuda, aku memfokuskan diri untuk bekerja di laboratorium membantu projek Prof. Asep Kadarohman, M.Si., yang sekarang sudah menjabat sebagai rektor UPI.

Setahun membantu riset bapak rektor tercinta dan mendapatkan kendala untuk melakukan produksi, maklum selama ini kegiatan produksi riset menggunakan sekala riset sedangkan permintaan sudah mulai skala industri. Di sela mendapatkan kendala tersebut, alhamdulillah, aku mendapatkan tawaran untuk mengajar di Bimbel Focus Excellent sebagai pengajar kimia. Tidak jauh berbeda saat aku di Villa Merah, alhamdulillah, aku diberikan kepercayaan juga untuk mengajar matematika dan TPA. Selain itu, aku sempat dipercaya menjadi manager akademik dan kepala cabang. Beberapa bulan kemudian aku diajak untuk membantu salah satu usaha rekan pengajar sebagai analis kimia.

Setelah tiga tahun, aku dan lembaga memiliki beda pemahaman dalam melanjutkan kerja sama. Akhirnya pada tahun 2018, setelah masa baktiku habis, aku memutuskan untuk pindah ke sebuah sekolah swasta. Sekolah level SMA ini baru membuka angkatan pertamanya. Tetapi setelah melalui tahap wawancara, berdiskusi dengan salah satu staff, dan observasi kelas, aku yakin ada hal yang mungkin belum pernah aku dapatkan di tempat-tempat sebelumnya.


Sekarang disinilah aku, di sebuah sekolah swasta yang penuh dengan cita-cita dan impian. Mengajar matematika dan kimia, menjadi wali kelas, aktivitas projek, mendapatkan pelajaran sirah nabi, tausiah rutin, mengintegrasi pelajaran dengan agama, mempersiapkan siswa untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), dan lainnya.

Kadang aku berpikir bahwa takdirku ini lucu, tak pernah aku bercita-cita menjadi seorang guru, dulu imianku adalah menjadi seorang dokter kandungan, atau menjadi ahli tambang minyak. Bahkan aku menghardik profesi guru saat masih bersekolah. Tapi sekarang aku menjadi seorang guru sekolah, aneh sekali, pendapatan materil yang selama ini aku peroleh, Allah berikan melalui jalur mengajar.

Meskipun begitu, dibalik semuanya, aku tak pernah menganggap menjadi guru adalah profesiku (sampai sekarang masih mencoba untuk mencari karir jalur lain, haha). Aku tidak begitu menikmati ketika mengajar mereka, aku lebih menikmati bagaimana berdiskusi dengan siswa dan orang tua siswa, memotivasi mereka untuk masuk perguruan tinggi, mencoba memberikan masukan, dan lainnya. Yah, mengajar hanyalah kewajiban yang mungkin harus aku lalui.


Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu, begitu banyak misteri illahi. Mungkin apa yang tidak kita sukai adalah hal yang baik menurut Allah, ataupun sebaliknya, apa yang kita sukai bukan hal baik menurut Allah.

Mari kita nikmati apa yang Allah takdirkan. :)


Saturday, January 4, 2020

Happy New Year 2020

Tidak terasa sudah memasuki tahun baru lagi, pergantian tahun yang banyak ditunggu orang dan membuat resolusi baru (atau mengedit resolusi lama, haha). Saya mungkin tidak termasuk kedalam orang yang suka menulis resolusi-resolusi, yaahh let it flow saja, do everything i can do. Dilain sisi, mungkin orang-orang bereuforia luar biasa dipergantian tahun ini tapi tidak bagiku. Karena tepat 2 tahun yang lalu sebelum tahun baru 2018 adalah hari berduka terdalam, kepergian ibuku. 30 Desember 2017, hari yang tak akan pernah aku lupakan. Aku tepat berada disisinya, mengantarkannya ke rumah sakit di malam hari, tapi semuanya terlambat, ucapan dokter menohok telingaku, terdiam sejenak, dan terlintas begitu banyak moment dipekan itu. Yah, baru kali itu aku menjerit di UGD Rumah Sakit, sebuah traumatik yang tidak ingin terulang lagi.
I Love You So Mom. Pergantian tahun selalu menjadi hari yang paling membingungkan bagiku, dikala orang lain bereuforia tapi aku berduka, dan keesokannya adalah hari ulang tahun anakku, Cheryl. Duka dan senang bercampur aduk menjadi satu. Dua tahun lalu pun begitu, kami sudah berencana untuk merayakan hari lahir Cheryl dirumah ibuku, tapi rencana tinggalah rencana. Yang paling aku ingat tentang ibuku dan Cheryl adalah, ia selalu memanggil Cheryl dengan 'princess imom', imom adalah panggilan sayang kami padanya.
Mom, princess imom sekarang sudah besar, cerewet, banyak gaya, haha. Beginilah tiap pergantian tahun, benar-benar ada tawa, canda, sedih, ceria, duka, dan lain-lain. Terimah kasih mom, sudah menjadi ibu terbaik, menjadi tempat dimana aku lelah dengan sekolah, pekerjaan, wanita (hehe), dunia, dan selalu menjadi tenaga baru kala itu. Semoga kelak kita bertemu lagi di telaga Rasulullah dan di Surga Firdaus Allah. I Love and Miss You So.
Happy New Year ^^.

Friday, November 22, 2019

Kesendirian


Mungkin sekitar 21 tahun yang lalu, orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Aku tak pernah ingat, apakah mereka pernah mengatakan dengan jelas kepadaku bahwa mereka berpisah. selama dua tahun, aku tak bertemu dengan ibuku. Anehnya aku tak menyadari itu, aku tak pernah ingat apa aku pernah merasakan ketidakhadirannya saat itu. Sampai saat aku duduk di kelas 5 SD dan terjatuh sakit, ibuku datang kerumah, mengetuk pintu. Ku bukakan pintu untuknya dan ia bertanya padaku "De, udah makan?", aku yang awalnya lemas entah mengapa jadi riang, melihat ibu membawa makanan menyediakannya dalam oriring dan menyuapiku. Setelah itu ia pergi lagi. Terbesit keheranan saat itu, mengapa ia harus pergi.

Aku sangat menghormati ayahku, mungkin sedikit takut. Yah, beliau tidak semenyeramkan sosok ayah yang suka memaki atau memukul anaknya seperti sinetron-sinetron alay. Tapi, caranya mendidikku cukup keras membuatku harus berpikir seribu kali untuk memutuskan, membicarakan, ataupun untuk menangis. Aku tak pernah membencinya, karena setiap pelukan yang ia berikan sangat terasa hangat, begitu erat, dan terasa kasih sayangnya padaku. Begitulah sosok ayahku, sehingga aku tak pernah berani untuk bertanya ada apa dirinya dengan ibuku.

Sejak kedatangan ibuku saat itu, aku jadi lebih sering bertemu dengannya. Ia sering datang menghampiriku di sekolah hanya untuk sekedar makan siang bersama dan di setiap malam minggu aku bisa menginap di tempat tinggalnya yang baru. Beliau tinggal di kosan di dalam sebuah gang. Yah, kami jadi dapat lebih banyak bercengkrama dan entah mengapa aku meraskan degup jantung yang kencang ketika bersamanya. Mungkin aku baru menyadarinya saat ini, bahwa aku sangat merindukan beliau. Senang rasanya bisa berkunjung, mendengarkannya bercerita dan bergurau. Meskipun aku tak pernah sedikit pun menceritakan tentangku, tapi rasanya ia seperti mengetahui apa yang sedang aku hadapi. Tiap kali akan meninggalkannya untuk pulang, selalu jatuh air mata ini meski hanya sekian detik, rasanya aku tak pernah ingin meninggalkannya. 

Aku dipertahankan untuk tinggal bersama ayahku, meski keputusan sidang perceraian, kata mereka, mengatakan seharusnya aku bersama ibuku. Aku tak bertanya mengapa tapi aku mengerti saat ini, dan aku sangat berterima kasih akan keputusan ayahku. Bukan karena aku tak mau tinggal bersama ibuku, tapi perjalanan hidup membuatku mengerti mengapa memang aku sebaiknya tinggal bersama ayahku.

Berpuluh-puluh tahun aku menjalani hidup dengan cara pandang yang juga aku tak mengerti. Terlebih setelah kedua orang tuaku memutuskan untuk menikah lagi, dengan pilihannya masing-masing. Perubahan struktur keluarga menjadikan perubahan pola dalam hidupku juga. Aku lebih banyak merasa sendiri. Sejak SMP aku jadi lebih suka untuk pergi dini hari dan pulang larut malam atau bahkan memutuskan untuk tidak pulang. Menginap di rumah sahabat menjadi pilihan yang lebih menyenangkan saat itu. Menghabiskan waktu dengan sebilah gitar, secangkir kopi, dan tawa renyah bersama mereka terasa sangat menyenangkan. Tapi setiap lepas dari kebersamaan dengan mereka, aku kembali merasa sepi. Aku dan keluargaku pun bisa dikatakan baik-baik saja, menurutku, tapi rasanya ada yang hampa, rasanya ada yang berbeda jika aku bandingkan dengan keluarga teman-temanku yang lain. Dan entah sejak kapan, rasanya aku mulai perlahan meninggalkan keluargaku, selangkah dan demi selangkah.

Aku masih bertemu dengan keluargaku, tertawa, dan berbicara. Terlebih dengan adikku, adikku satu-satunya, yang sampai saat ini sangat aku sayangi. Meski tak pernah aku ucapkan, meski aku tak tahu bagaimana cara menunjukannya, tapi aku rasa apa yang dia alami mungkin lebih berat dibandingkanku yang lebih tua dua tahun dibandingnya.

Sampai lulus kuliah, bekerja, dan berkeluarga. Saat ini, entah mengapa aku masih merasa seperti sendiri. Terasa teramat sepi, apalagi setelah ibuku menemui Tuhan. Mungkin aku bisa mendapatkan tawa, tangis, bahagia, sedih, amarah, rindu, kagum, dan lainnya tetapi rasanya semuanya itu sangat sementara. Setelah itu kembali hilang kembali hampa, dan hal tersebut terjadi berulang-ulang.

Saat ini, aku lebih suka mengambil waktu untuk dapat merenung sendiri, mencari celah untuk menyendiri, berpikir, bertanya kepada Tuhan, berharap mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya satu minggu kemarin aku menginstall sebuah game android "Cryptogram", isinya mengenai puzzle kalimat-kalimat dari orang-orang terkenal terdahulu. Hingga aku bertemu puzzle yang aku pecahkan merupakan kalimat dari Orson Welles:

"We're Born Alone, We Live Alone, We Die Alone. Only Through Our Love and Friendship Can We Create The Illusion For The Moment That We're Not Alone."

Seketika aku termenung, berpikir, mungkin benar bahwa semua ini hanyalah sebuah ilusi, sementara, permainan yang terasa sangat begitu nyata. Aku teringat sebuah ayat suci : 

"Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah permainan dan senda gurau belaka."

Seketika aku menangis. Aku menjadi rindu Tuhan, sangat rindu. Tapi aku tak tahu apakah Tuhan merindukanku. Aku sekarang hanya bisa berusaha dan berharap Tuhan merindukanku. Sampai saat itu terjadi, aku akan mencoba menikmati rasa aneh hidup di dunia ini, menikmati rasa hidup dengan caraku sendiri dalam kesendirian.

Thursday, November 14, 2019

One Week One Story

 1 Minggu 1 Cerita

Angin dingin membuat senin dini hari menjadi waktu yang paling tepat untuk membalut diri dengan selimut, kata kebanyakan orang. Sayangnya, hari ini aku harus bersiap lebih awal untuk menemani anak-anak menyiapkan projek di sekolah. Ku bergegas mandi, merias diri, dan berangkat pergi.

Projek kali ini tidak seberat projek-projek sebelumnya, anak-anak kelas X observasi sungai dan menganalisis permasalahan juga mencari gagasan untuk penyelesaiannya sedangkan anak-anak kelas XI observasi daerah-daerah tertinggal, mencari gagasan dan juga produk makanan untuk membantu menyelesaikan masalah kelaparan dan kemiskinan.

Ditengah kesibukan, aku mendapatkan chat dari sahabat :

Mau coba ikut satu minggu satu cerita gak?

Apa tuh?

Ya jadi kita setor cerita seminggu sekali, lumayanlah buat nambah latihan nulis
nanti km juga dimasukin di grup whatsaap nah bisa banyak belajar disana.

Oia? boleh juga tuh, gimana daftarnya?

Harusnya punya blog dulu.

Blog? duh, aku dulu pernah punya blog tapi tak terurus dan tak terawat. Jangankan ngerawat, ngedit dalemnya atau buat postingannya aja udah bingung.


Aku gak bisa bikin blog eung. Bantuin bikin dong?

Halah, blog doang gampang. bisa pake wordpress atau blogger.

Yah, liat nanti deh. hehehe

Pada dasarnya aku bukan orang yang suka menulis tapi sedikit suka membaca. Jangankan menulis cerita, empat tahun kuliah pun tidak ada catatannya. Ada sih satu, tapi dipinjam dan hilang ditelan bumi. Saat mendekati tingkat akhir, waktu kuliah semakin sedikit yang artinya semakin banyak waktu kosong yang aku punya. aku merasa ada banyak cerita yang aku punya baik dari pengalaman pribadi maupun orang lain. Aku berpikir akan seru juga kalau aku coba untuk menulis. Beberapa bulan kemarin pun aku coba untuk mengikuti lomba cerpen, Alhamdulillah kalah hehe.

Oke sekarang yang harus dipikirkan adalah pembuatan blog. Serius, hal yang paling malas aku ulik dalam hidup ini adalah pemrograman komputer, web, medsos, dan blog. Bukannya tidak mau mencoba tapi benar-benar logikanya tak sampai.

Satu minggu setelah chat itu, akhirnya aku memutuskan untuk membuat blog. Aku pernah buat blog di wordpress, jadi untuk kali ini aku mencoba untuk membuat di blogger. Setelah membuat akun blog, sesuai dengan prediksi, aku bingung haha. Aku coba edit profile dan menulis postingan awal. Sedangkan untuk tampilan masih polosan awal haha.

Beberapa hari kemudian sahabatku itu menawari untuk 'mengobrak-abrik' blog yang aku buat. Dengan sangat senang hari aku berikan akunnya, kalau perlu sama leptop aku juga aku kasih...pinjem hehe. Walhasil, tampilan bloggku jadilah yang sekarang. Billion of thanks for you buddies. Tapi sampai saat ini aku tetap cuma bisa bikin postingan, belum bisa menyentuh bagian-bagian lain dari tubuh blog ini.

Dua bulan berlalu dan postingan di blog pun masih sedikit, bukan karena malas tapi dunia kerja memakan waktuku begitu lahap sampai lupa membutuhkan air untuk melancarkan dan menghilangkan dahaga. Dan tepat hari kemarin, sahabatku mengirim pesan:

Jadi mau coba 1 minggu 1 cerita gak? aku mau coba lagi, bismillah.

Dia memang pernah ikut kelas ini tapi sempat terhalang oleh kesibukan-kesibukan dunia nyata jadi sempat 'dipecat' hehe.

Hayu deh, gimana caranya?

member.1minggu1cerita.id/registrasi
aku juga lagi daftar, hehe

Okeh aku daftar juga sekarang hehe

Tak sampai lima menit untuk mendaftar dan berhasil login di web 1minggu1cerita.id. Sempat bingung ide cerita apa yang akan saya share di awal setoran cerita ini, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi cerita ini sebagai mukadimah.

Semoga dengan mengikuti 1 minggu 1 cerita ini dapat mengembangkan kapabilitas menulis saya dan menjadikan blog ini lebih ceria juga semarak disaat pembaca larut dalam keheningan dan kesunyian cerita.


Tuesday, November 5, 2019

Rindu

Oleh: Nashrullah
Ku benamkan diri dalam hitam
Merasuki tiap sudut rongga kepala
Mencari lintasan dulu saat pernah bersama
Mencari cahaya kisah kita berdua

Ku buka pintu kayu tua
Berisi deretan meja sekolah
Ku lihat kau duduk di pojok ruang
Berbincang manis disertai gelak tawa

Ku raih tanganmu
Kau mendelik tajam
Ku sapa singkat
Kau membentak

Menyakitkan, kala itu
Kini, aku rindu

Mobil berbaris rapi di dataran
Ku melangkah pelan
Tanpa teropong aku lihat
Kau sedang berdua

Hanya untaian kalimat dan imaji, saksi tentang kita

Tiada penyesalan,
Hanya saja terkenang akan keindahan
Hanya saja terkenang akan kebodohan
Hanya saja engkau tak terlupakan

Tak ada pergerakan untuk kembali
Aku hanya berdoa kau bahagia
Aku hanya berdoa aku bahagia
Aku hanya, rindu