Friday, November 22, 2019

Kesendirian






Mungkin sekitar 21 tahun yang lalu, orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Aku tak pernah ingat, apakah mereka pernah mengatakan dengan jelas kepadaku bahwa mereka berpisah. selama dua tahun, aku tak bertemu dengan ibuku. Anehnya aku tak menyadari itu, aku tak pernah ingat apa aku pernah merasakan ketidakhadirannya saat itu. Sampai saat aku duduk di kelas 5 SD dan terjatuh sakit, ibuku datang kerumah, mengetuk pintu. Ku bukakan pintu untuknya dan ia bertanya padaku "De, udah makan?", aku yang awalnya lemas entah mengapa jadi riang, melihat ibu membawa makanan menyediakannya dalam oriring dan menyuapiku. Setelah itu ia pergi lagi. Terbesit keheranan saat itu, mengapa ia harus pergi.

Aku sangat menghormati ayahku, mungkin sedikit takut. Yah, beliau tidak semenyeramkan sosok ayah yang suka memaki atau memukul anaknya seperti sinetron-sinetron alay. Tapi, caranya mendidikku cukup keras membuatku harus berpikir seribu kali untuk memutuskan, membicarakan, ataupun untuk menangis. Aku tak pernah membencinya, karena setiap pelukan yang ia berikan sangat terasa hangat, begitu erat, dan terasa kasih sayangnya padaku. Begitulah sosok ayahku, sehingga aku tak pernah berani untuk bertanya ada apa dirinya dengan ibuku.

Sejak kedatangan ibuku saat itu, aku jadi lebih sering bertemu dengannya. Ia sering datang menghampiriku di sekolah hanya untuk sekedar makan siang bersama dan di setiap malam minggu aku bisa menginap di tempat tinggalnya yang baru. Beliau tinggal di kosan di dalam sebuah gang. Yah, kami jadi dapat lebih banyak bercengkrama dan entah mengapa aku meraskan degup jantung yang kencang ketika bersamanya. Mungkin aku baru menyadarinya saat ini, bahwa aku sangat merindukan beliau. Senang rasanya bisa berkunjung, mendengarkannya bercerita dan bergurau. Meskipun aku tak pernah sedikit pun menceritakan tentangku, tapi rasanya ia seperti mengetahui apa yang sedang aku hadapi. Tiap kali akan meninggalkannya untuk pulang, selalu jatuh air mata ini meski hanya sekian detik, rasanya aku tak pernah ingin meninggalkannya. 

Aku dipertahankan untuk tinggal bersama ayahku, meski keputusan sidang perceraian, kata mereka, mengatakan seharusnya aku bersama ibuku. Aku tak bertanya mengapa tapi aku mengerti saat ini, dan aku sangat berterima kasih akan keputusan ayahku. Bukan karena aku tak mau tinggal bersama ibuku, tapi perjalanan hidup membuatku mengerti mengapa memang aku sebaiknya tinggal bersama ayahku.

Berpuluh-puluh tahun aku menjalani hidup dengan cara pandang yang juga aku tak mengerti. Terlebih setelah kedua orang tuaku memutuskan untuk menikah lagi, dengan pilihannya masing-masing. Perubahan struktur keluarga menjadikan perubahan pola dalam hidupku juga. Aku lebih banyak merasa sendiri. Sejak SMP aku jadi lebih suka untuk pergi dini hari dan pulang larut malam atau bahkan memutuskan untuk tidak pulang. Menginap di rumah sahabat menjadi pilihan yang lebih menyenangkan saat itu. Menghabiskan waktu dengan sebilah gitar, secangkir kopi, dan tawa renyah bersama mereka terasa sangat menyenangkan. Tapi setiap lepas dari kebersamaan dengan mereka, aku kembali merasa sepi. Aku dan keluargaku pun bisa dikatakan baik-baik saja, menurutku, tapi rasanya ada yang hampa, rasanya ada yang berbeda jika aku bandingkan dengan keluarga teman-temanku yang lain. Dan entah sejak kapan, rasanya aku mulai perlahan meninggalkan keluargaku, selangkah dan demi selangkah.

Aku masih bertemu dengan keluargaku, tertawa, dan berbicara. Terlebih dengan adikku, adikku satu-satunya, yang sampai saat ini sangat aku sayangi. Meski tak pernah aku ucapkan, meski aku tak tahu bagaimana cara menunjukannya, tapi aku rasa apa yang dia alami mungkin lebih berat dibandingkanku yang lebih tua dua tahun dibandingnya.

Sampai lulus kuliah, bekerja, dan berkeluarga. Saat ini, entah mengapa aku masih merasa seperti sendiri. Terasa teramat sepi, apalagi setelah ibuku menemui Tuhan. Mungkin aku bisa mendapatkan tawa, tangis, bahagia, sedih, amarah, rindu, kagum, dan lainnya tetapi rasanya semuanya itu sangat sementara. Setelah itu kembali hilang kembali hampa, dan hal tersebut terjadi berulang-ulang.

Saat ini, aku lebih suka mengambil waktu untuk dapat merenung sendiri, mencari celah untuk menyendiri, berpikir, bertanya kepada Tuhan, berharap mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya satu minggu kemarin aku menginstall sebuah game android "Cryptogram", isinya mengenai puzzle kalimat-kalimat dari orang-orang terkenal terdahulu. Hingga aku bertemu puzzle yang aku pecahkan merupakan kalimat dari Orson Welles:

"We're Born Alone, We Live Alone, We Die Alone. Only Through Our Love and Friendship Can We Create The Illusion For The Moment That We're Not Alone."

Seketika aku termenung, berpikir, mungkin benar bahwa semua ini hanyalah sebuah ilusi, sementara, permainan yang terasa sangat begitu nyata. Aku teringat sebuah ayat suci : 

"Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah permainan dan senda gurau belaka."

Seketika aku menangis. Aku menjadi rindu Tuhan, sangat rindu. Tapi aku tak tahu apakah Tuhan merindukanku. Aku sekarang hanya bisa berusaha dan berharap Tuhan merindukanku. Sampai saat itu terjadi, aku akan mencoba menikmati rasa aneh hidup di dunia ini, menikmati rasa hidup dengan caraku sendiri dalam kesendirian.

0 comments:

Post a Comment